Search for collections on UNIDA Gontor Repository

Sains Islam dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr

Mohammad Muslih, Muslih (2022) Sains Islam dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. LESFI (Lembaga Studi Filsafat Islam), Yogyakarta. ISBN 978-979-567-060-5

[img] Text (Sains Islam dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)
Buku Muslih-Nur Akhda_Sains Islam Cut_protected.pdf
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial Share Alike.

Download (2MB)
[img] Text (plagiarism)
Turnitin Buku Muslih-Nur Akhda_Sains Islam Cut.pdf (1).pdf

Download (2MB)
[img] Text (reviewer)
Riviewer Buku Sains Islam dalam Pemikiran Seyyed Hosein Nasr.pdf

Download (2MB)

Abstract

Membincangkan pemikiran tentang agama dan sains (atau ilmu pengetahuan) dalam Islam, seringkali berpijak pada 3 kategori, yaitu integrasi, islamisasi ilmu pengetahuan, dan pengembangan sains Islam. Sejatinya, 3 hal tersebut merepresen­tasikan sikap moderat umat Islam dalam menyeimbangkan posisi antara ilmu dan agama. Selain itu, sebenarnya masih terdapat 2 golongan lainnya, yaitu: pertama, mereka yang tidak mempercayai adanya tradisi keilmuan dalam Islam selain hanya meniru peradaban sebelumnya. Kedua, mereka yang tidak mementingkan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan; karena agama Islam cukup berpedoman pada petunjuk dari al­Qur’an dan hadits. Kedua golongan tersebut memang sama­sama ekstrem: entah menolak Islam atau menolak perkembangan Ilmu. Padahal, mu’jizat Rasulullah saw yang terbesar yakni al­ Qur’an; justru semakin kuat maknanya manakala dilihat dari berbagai perspektif keilmuan. Al­Qur’an dan Hadits pun, turut menekankan aspek rasional­empiris dalam menyelami makna petunjuk dari keduanya. Para penerus nabi dan sahabat, justru melahirkan banyak karya tulis yang brilian dalam berbagai disiplin ilmu tanpa meninggalkan tradisi mempelajari al­Qur’an dan Hadits. Aspek tersebut, tentu disepakati oleh seluruh pengusung dari aliran Integrasi Ilmu, Islamisasi Ilmu, dan juga Sains Islam. Perbedaan dari ketiganya, hanya soal pendekatan. Ada yang melihat, bahwa perkembangan sains di dunia Islam berawal dari ‘perlunya’ umat Islam saat itu untuk mengintegrasikan sains dari peradaban non­Islam (Persia, Yunani, juga India) untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Contohnya, Umar bin Khattab yang mengintegrasikan sistem administrasi Persia untuk diterapkan dalam lembaga pemerintahan. Termasuk, penggunaan kertas dari peradaban Mesir yang terkenal saat itu. Bahkan wacana­wacana logika dalam Ilmu Kalam, konon turut terinspirasi dari metafisika Yunani. Saat ini pun, ide untuk mengintegrasikan sains modern ke dalam masyarakat muslim juga dilandasi oleh pemikiran semacam ini. Ada pula yang melihat secara filosofis. Bahwa sebelum suatu sains dari peradaban non­Islam akan diintegrasikan, maka ia mengalami seleksi, penyaringan, dan eliminasi pada bagian­ bagian yang memang bertentangan dengan visi Islam tentang realitas dan kebenaran. Sehingga, tersisa unsur teknis dan skema operasional yang sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Termasuk, secara sistematis produk sains ini hanya ‘bersandar’ pada sunnatullah. Inilah yang sejatinya diintegrasikan ke dalam masyarakat Islam kala itu. Barulah pada fase selanjutnya, sains tersebut dikembangkan melalui skema semacam ‘program riset’ menjadi Sains Islam. Contohnya, adalah model pengambilan hukum (istinbat ahkam) yang dicontohkan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidāyah al-Mujtahid amat kental dengan logika semacam qiyas, semiotika, dan lainnya dalam membaca sebab dari perbedaan produk hukum antar madzhab Fiqh dalam Islam. Termasuk pula – masih di sekitar Andalusia – ditemukannya berbagai manuskrip tentang pertanian (lihat di http://filaha. org/) dan masih banyak manuskrip Arab (baca: dari ilmuwan muslim) yang belum diedit untuk dikaji. 1 Jika memang orang muslim perlu berinteraksi dengan sains modern (yakni, bukan berasal dari peradaban Islam), maka ia tetap memerlukan pijakan epistemologis yang kokoh. Agar tidak keliru memandang sains modern tersebut. Sudah semestinya, bahwa fenomena sains modern dilihat dari sisi nilai­nilai agama seperti maqāṡid syariah atau maṡlahat. Sepanjang berkembangnya sains Barat, maka sepanjang itu pula usaha umat Islam, khususnya saintis termasuk ulama, turut menyikapi dan merespon perkembangan tersebut. Entah dengan mendalami khazanah intelektual ulama terdahulu dan merekonseptualisasinya; atau mengembangkan setidaknya kajian tentang isu­isu kontemporer yang dicarikan padanannya dari unsur agama. Baik juga untuk menawarkan hasil kajian atas aspek hukum dalam sains modern tersebut. Kesemuanya, setidaknya ditujukan agar mencapai keseimbangan antara teks dan konteks, serta harmoni antara akal dan wahyu. Adanya 3 gerakan di atas, menunjukkan bahwa nilai­ nilai Islam yang dimaknai dengan tepat, haruslah mendorong produktifitas. Meyakini bahwa Allah Maha Memberi Rezeki, bukan berarti mendorong kita untuk ongkang-ongkang sambil menunggu rezeki yang ‘konon’ akan tiba begitu saja. Bagi seorang penuntut ilmu yang juga mendalami ilmu agama, tidak cukup untuk sekedar meyakini bahwa Allah­lah yang memberikan ilmu sejati tanpa usaha melakukan penelitian, mengkaji literatur, bahkan memverifikasi fakta-fakta empiris apapun. Buku ini, menghadirkan salah satu tokoh penting dalam melihat adanya 3 aspek (integrasi, islamisasi, dan sains Islam) yang terjadi saat peradaban Islam bertemu dengan non­Islam. Narasi yang digunakan oleh Seyyed Hossein Nasr – seorang filsuf tradisionalis – untuk menggambarkan tradisi intelektual dalam Islam adalah Sains Suci (Scientia Sacra). Etos ilmiah yang dihasilkan olehnya, sangat layak untuk dikaji secara mendalam. Khususnya dari segi persoalan­persoalan yang berhasil diselesaikan dengan pemikirannya tentang hubungan antara Islam dan sains; berikut pula antara Islam dan Barat. Tokoh ini, tentu dapat dikatakan sezaman dengan Syed Muhammad Naquib al­Attas; sebagai pencetus dan pemrakarsa istilah ‘Islamisasi Ilmu’. Termasuk pula sezaman dengan tokoh aliran ‘integrasi ilmu’ seperti Holmes Rolston III dan Ian Barbour, juga Maurice Bucaille pencetus ‘ayatisasi’. Tawaran penting dalam buku ini, sejatinya mencerminkan perspektif baru dalam melihat Sains Islam sebagai agenda dan fakta historis. Khususnya, karena buku yang berada di hadapan pembaca ini menawarkan pembacaan produktif, (atau qira’ah muntijah – dalam bahasa Nasr Hamid dan Abied al Jabiri) berbasis filsafat ilmu Imre Lakatos terhadap kemungkinan pengembangan sains Islam yang bukan sekedar ayatisasi atau integrasi. Melainkan dapat memposisikan narasi ‘Islamisasi Ilmu’ sebagai suatu ‘program riset’ yang bertanggungjawab dalam melahirkan produk sains yang Islami di masa depan nanti. Ini tentu menjadi salah satu bagian dari kontribusi penulis, yakni assoc. Prof. Dr. Mohammad Muslih, M.Ag dan Nur Akhda Sabila, MAg. dalam melihat secara kritis perkembangan tradisi intelektual Islam di masa kini dari segi produktivitasnya; serta kemampuan responnya atas perkembangan sains modern. Upaya ini didukung dengan kerja keras keduanya dalam melihat kembali literatur karya Seyyed Hossein Nasr yang secara khusus menawarkan paradigma Sains Suci (Scientia Sacra) di era modern ini.

Item Type: Book
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > B Philosophy (General)
Divisions: Pascasarjana Magister UNIDA Gontor > Magister Aqidah dan Filsafat Islam
Depositing User: PAK Pasca Sarjana AFI S2
Date Deposited: 24 Jan 2024 04:22
Last Modified: 30 Mar 2024 05:42
URI: http://repo.unida.gontor.ac.id/id/eprint/3213

Actions (login required)

View Item View Item