Search for collections on UNIDA Gontor Repository

EPISTEMOLOGI ISLAM Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Mujtaba, M. Shohibul (2021) EPISTEMOLOGI ISLAM Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Pengetahuan dalam Islam. In: EPISTEMOLOGI ISLAM: Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Buku Chapter . Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations, INSISTS, pp. 121-138. ISBN 978-602-52894-5-3

[img] FILE TEXT (EPISTEMOLOGI ISLAM Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Pengetahuan dalam Islam)
Naskah Buku Epistemologi Islam_protected.pdf - Published Version

Download (1MB)
[img] FILE TEXT (Cek Plagiarisme)
Cek Plagiasi Naskah Buku Epistemologi Islam_protected.pdf

Download (1MB)
[img] FILE TEXT (Reviewer)
Reviewer Buku.pdf

Download (1MB)

Abstract

Epistemologi dan pandangan hidup, seperti yang akan dibuktikan nanti, mempunyai kaitan yang sangat erat, sebab keduanya berada dan bekerja dalam pikiran manusia. Ia bahkan dapat digambarkan sebagai vicious circle (lingkaran setan) karena yang satu dapat memengaruhi yang lain. Kepercayaan terhadap pengetahuan tentang Tuhan, misalnya, membuat pengetahuan non-empiris menjadi mungkin (possible). Sebaliknya, menafikan pengetahuan non-empiris berimplikasi pada penolakan terhadap pengetahuan tentang Tuhan dan tentang hal-hal spiritual lainnya. Contoh serupa dapat terjadi pada kepercayaan mengenai sumber pengetahuan tentang moralitas. Percaya bahwa sumber pengetahuan moralitas hanyalah sebatas subjektivitas manusia berarti menolak sumber di luar itu,1 termasuk wahyu. Namun, persoalan bagaimana epistemologi dan pandangan hidup samasama bekerja dalam pikiran manusia memang tidak sesederhana itu, tapi hubungan antara keduanya dapat didemonstrasikan. Dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadis, akal, pengalaman, dan intuisi.2 Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep universal, permanen (tsawābit) dan dinamis (mutaghayyirāt), pasti (muḥkamāt) dan samarsamar (mutasyābih), yang asasi (uṣūl) dan yang tidak (furū‘). Oleh sebab itu, pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikotomis: historis-normatif, tekstual-kontekstual, subjektif-objektif, dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama harus dipahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Sebabnya, bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting di dalamnya. Tak heran jika tradisi intelektual dalam peradaban Islam dapat hidup dan berkembang secara progresif. Jadi, peradaban Islam itu bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap wahyu yang kemudian berkembang menjadi tradisi intelektual yang melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, hingga akhirnya menjadi peradaban yang kokoh. Di situ, pandangan hidup atau worldview dan epistemologi sama-sama bekerja. PROSES MUNCULNYA WORLDVIEW DAN ILMU PENGETAHUAN Sebenarnya, cara seorang individu berproses memiliki pandangan hidup (worldview) cukup beragam. Dengan keragaman proses tersebut, berbeda-beda pula bentuk dan sifat worldview yang dihasilkan. Proses pembentukan worldview hampir tidak berbeda dengan proses pencarian pengetahuan. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam pikiran seseorang, baik a priori maupun a posteriori,3 konsep-konsep serta sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya. Bagi Thomas F. Wall, akumuluasi pengetahuan yang ia sebut epistemological beliefs itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan worldview kita, tapi yang sangat menentukan terbentuknya worldview baginya adalah metaphysical belief. 4 Bagi Alparslan, worldview lahir dari adanya konsep-konsep yang mengkristal menjadi kerangka pikir (mental framework).5 Hal ini dapat dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu terdiri dari ide-ide, kepercayaan, aspirasi, dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep, saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network) dalam pikiran kita. Jaringan ini membentuk struktur berpikir yang koheren dan dapat disebut suatu keseluruhan yang saling berhubungan “achitectonic whole”. Keseluruhan konsep yang saling berhubungan inilah yang membentuk pandangan hidup seseorang.6 Dalam kasus Islam, seperti yang akan dijelaskan nanti, pengetahuan yang membentuk totalitas konsep itu berasal dari ajaran Islam. Secara sosiologis, prasyarat terbentuknya worldview bagi suatu bangsa atau masyarakat adalah kondisi berpikir (mental environment), meskipun hal ini belum menjamin timbulnya tradisi intelektual dan penyebaran ilmu di masyarakat. Untuk itu, bangsa atau masyarakat memerlukan apa yang disebut scientific conceptual scheme ‘kerangka konsep keilmuan’, yaitu konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan oleh masyarakat secara ilmiah. Melihat kedua proses pembentukan dan pengembangan worldview yang seperti ini, maka worldview dapat dibagi menjadi natural worldview dan transparent worldview. Yang pertama terbentuk secara alami, sedangkan yang kedua terbentuk oleh suatu kesadaran berpikir saja.7 Dalam natural worldview, disseminasi ilmu pengetahuan biasanya terjadi dengan cara-cara ilmiah dalam scientific conceptual scheme, yaitu suatu mekanisme canggih yang mampu melahirkan pengetahuan ilmiah dan melahirkan pandangan hidup ilmiah (scientific worldview).8 Berbeda dari natural worldview, transparent worldview lahir tidak melalui kerangka konsep keilmuan yang terbentuk dalam masyarakat, meskipun substansinya tetap bersifat ilmiah. Transparent worldview lebih sesuai untuk sebutan bagi pandangan hidup Islam. Sebabnya, pandangan hidup Islam tidak bermula dari adanya suatu masyarakat ilmiah yang mempunyai mekanisme canggih untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah. Pandangan hidup Islam dicanangkan oleh Nabi di Makkah melalui penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi menerima wahyu berupa ayat-ayat Al-Qur’an, beliau menjelaskan dan menyebarkannya ke masyarakat. Cara-cara seperti ini tidak sama dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview. Oleh sebab itu, Alparslan menamakan worldview Islam sebagai “quasi-scientific worldview”.9 Proses pembentukan pandangan hidup melalui penyebaran ilmu pengetahuan di atas akan lebih jelas lagi jika kita lihat dari proses pembentukan elemen-elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidup itu serta fungsi di dalamnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pandangan hidup dibentuk oleh jaringan berpikir (mental network) berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Namun, ia tidak merepresentasikan suatu totalitas konsep dalam pikiran kita. Ketika akal seseorang menerima pengetahuan, terjadi proses seleksi yang alami. Pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang kita miliki. Struktur worldview hampir serupa dengan elemen worldview. Di sini, terdapat sedikitnya lima bagian penting struktur konsep: (1) tentang kehidupan, (2) tentang dunia, (3) tentang manusia, (4) tentang nilai, dan (5) tentang pengetahuan.10 Proses terbentuknya struktur worldview ini bermula dari pemahaman tentang kehidupan, termasuk cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya. Struktur konsep tentang dunia adalah persepsi tentang dunia di mana manusia hidup. Struktur konsep tentang ilmu pengetahuan adalah merupakan pengembangan dari struktur dunia (dalam transparent worldview). Gabungan dari struktur kehidupan, dunia, dan pengetahuan ini melahirkan struktur nilai, di mana konsep-konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang secara transparent, maka struktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis. Meskipun proses akumulasi kelima struktur di atas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan seperti disebut di atas, tapi perlu dicatat bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konsepstual dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum (general scheme) dalam memahami segala sesuatu, termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berpikir kita. Di sini, dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan menjadi refleksi dari struktur-struktur di atas. Teori ini berlaku secara umum pada semua kebudayaan dan dapat menjadi landasan yang valid dalam menggambarkan timbul dan berkembangnya pandangan hidup apapun, termasuk pandangan hidup Islam. Berarti, kegiatan keilmuan apapun baik dalam kebudayaan Barat, Timur, maupun peradaban Islam dapat ditelusuri dari pandangan hidup masing-masing. Kesimpulannya, ilmu dalam Islam lahir dari pandangan hidup Islam yang diawali oleh adanya tradisi intelektual Islam. Ilmu dalam Islam bukan diambil dari kebudayaan lain. Sebabnya, ilmu tidak dapat timbul dan berkembang pada suatu masyarakat dari hasil impor.11 Artinya, suatu ilmu tidak dapat muncul dengan secara tiba-tiba dalam suatu masyarakat atau kebudayaan yang tidak memiliki latar belakang tradisi ilmiah atau tanpa worldview yang kaya dengan struktur keilmuan. Ilmu asing “diadapsi” bukan “diadopsi”, itupun sebatas konsep-konsepnya yang dinilai layak untuk diadapsi. Karena, proses pinjam meminjam antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain merupakan sesuatu yang alami. Namun, dalam mengadapsi konsep-konsep dari worldview dan kebudayaan asing diperlukan proses epistemologis untuk mengislamkannya. Bahkan, sebenarnya, ketika elemen-elemen asing itu ditransmisikan ke dalam pandangan hidup Islam, pada saat yang sama terjadi proses Islamisasi. Meskipun demikian, posisi konsep pinjaman tidak bisa menjadi lebih dominan. Dalam kasus filsafat dan sains Islam, misalnya, posisi konsep pinjaman dari Yunani digambarkan dengan tepat sekali oleh M. M. Sharif. Baginya, pemikiran Muslim sebagai kain dan pemikiran Yunani sebagai sulaman (tambahan), “meskipun sulaman itu adalah benang emas, kita hendaknya tidak menganggap sulaman itu sebagai kain”.12 Ini bermakna bahwa kita tidak bisa dikatakan menghasilkan suatu disiplin ilmu jika paradigma, prinsip-prinsip, dan teorinya didominasi oleh pandangan hidup lain. Akhirnya, kehadiran buku ini sangat penting untuk memahami lahir dan berkembangnya epistemologi Islam. Buku ini sangatlah tepat untuk dijadikan rujukan salah satu mata kuliah Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu Epistemologi Islam. Kami ucapkan selamat menikmati dan meneguk hikmah dari buku ini.

Item Type: Book Section
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > BL Religion
Divisions: Fakultas Ushuluddin UNIDA Gontor > Aqidah Filsafat Islam
Depositing User: PAK Fakultas Ushuluddin
Date Deposited: 14 Nov 2023 02:29
Last Modified: 14 Nov 2023 02:29
URI: http://repo.unida.gontor.ac.id/id/eprint/3065

Statistics Downloads of this Document

Downloads per month in the last year

View more statistics

 View Item View Item