Book
Published
Sains Islam dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Abstract
Membincangkan pemikiran tentang agama dan sains
(atau ilmu pengetahuan) dalam Islam, seringkali berpijak pada 3 kategori, yaitu integrasi, islamisasi ilmu pengetahuan, dan pengembangan sains Islam. Sejatinya, 3 hal tersebut merepresentasikan sikap moderat umat Islam dalam menyeimbangkan posisi antara ilmu dan agama. Selain itu, sebenarnya masih terdapat 2 golongan lainnya, yaitu: pertama, mereka yang tidak mempercayai adanya tradisi keilmuan dalam Islam selain hanya meniru peradaban sebelumnya. Kedua, mereka yang tidak mementingkan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan; karena
agama Islam cukup berpedoman pada petunjuk dari alQur’an dan hadits. Kedua golongan tersebut memang samasama ekstrem: entah menolak Islam atau menolak perkembangan Ilmu. Padahal, mu’jizat Rasulullah saw yang terbesar yakni al Qur’an; justru semakin kuat maknanya manakala dilihat dari berbagai perspektif keilmuan. AlQur’an dan Hadits pun, turut menekankan aspek rasionalempiris dalam menyelami makna petunjuk dari keduanya. Para penerus nabi dan sahabat, justru melahirkan banyak karya tulis yang brilian dalam berbagai disiplin ilmu tanpa meninggalkan tradisi mempelajari alQur’an
dan Hadits. Aspek tersebut, tentu disepakati oleh seluruh pengusung dari aliran Integrasi Ilmu, Islamisasi Ilmu, dan juga Sains Islam. Perbedaan dari ketiganya, hanya soal pendekatan. Ada yang melihat, bahwa perkembangan sains di dunia Islam berawal dari ‘perlunya’ umat Islam saat itu untuk mengintegrasikan sains dari peradaban nonIslam (Persia, Yunani, juga India) untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Contohnya, Umar bin Khattab yang mengintegrasikan sistem administrasi Persia
untuk diterapkan dalam lembaga pemerintahan. Termasuk,
penggunaan kertas dari peradaban Mesir yang terkenal saat
itu. Bahkan wacanawacana logika dalam Ilmu Kalam, konon
turut terinspirasi dari metafisika Yunani. Saat ini pun, ide untuk
mengintegrasikan sains modern ke dalam masyarakat muslim
juga dilandasi oleh pemikiran semacam ini.
Ada pula yang melihat secara filosofis. Bahwa sebelum
suatu sains dari peradaban nonIslam akan diintegrasikan, maka
ia mengalami seleksi, penyaringan, dan eliminasi pada bagian
bagian yang memang bertentangan dengan visi Islam tentang
realitas dan kebenaran. Sehingga, tersisa unsur teknis dan skema
operasional yang sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.
Termasuk, secara sistematis produk sains ini hanya ‘bersandar’
pada sunnatullah. Inilah yang sejatinya diintegrasikan ke dalam
masyarakat Islam kala itu. Barulah pada fase selanjutnya, sains
tersebut dikembangkan melalui skema semacam ‘program riset’
menjadi Sains Islam. Contohnya, adalah model pengambilan
hukum (istinbat ahkam) yang dicontohkan oleh Ibnu Rusyd
dalam Bidāyah al-Mujtahid amat kental dengan logika semacam
qiyas, semiotika, dan lainnya dalam membaca sebab dari
perbedaan produk hukum antar madzhab Fiqh dalam Islam.
Termasuk pula – masih di sekitar Andalusia – ditemukannya
berbagai manuskrip tentang pertanian (lihat di http://filaha.
org/) dan masih banyak manuskrip Arab (baca: dari ilmuwan muslim) yang belum diedit untuk dikaji.
1
Jika memang orang muslim perlu berinteraksi dengan
sains modern (yakni, bukan berasal dari peradaban Islam),
maka ia tetap memerlukan pijakan epistemologis yang kokoh.
Agar tidak keliru memandang sains modern tersebut. Sudah
semestinya, bahwa fenomena sains modern dilihat dari sisi
nilainilai agama seperti maqāṡid syariah atau maṡlahat.
Sepanjang berkembangnya sains Barat, maka sepanjang itu
pula usaha umat Islam, khususnya saintis termasuk ulama,
turut menyikapi dan merespon perkembangan tersebut. Entah
dengan mendalami khazanah intelektual ulama terdahulu dan
merekonseptualisasinya; atau mengembangkan setidaknya
kajian tentang isuisu kontemporer yang dicarikan padanannya
dari unsur agama. Baik juga untuk menawarkan hasil kajian
atas aspek hukum dalam sains modern tersebut. Kesemuanya,
setidaknya ditujukan agar mencapai keseimbangan antara teks
dan konteks, serta harmoni antara akal dan wahyu.
Adanya 3 gerakan di atas, menunjukkan bahwa nilai
nilai Islam yang dimaknai dengan tepat, haruslah mendorong
produktifitas. Meyakini bahwa Allah Maha Memberi Rezeki,
bukan berarti mendorong kita untuk ongkang-ongkang sambil
menunggu rezeki yang ‘konon’ akan tiba begitu saja. Bagi seorang
penuntut ilmu yang juga mendalami ilmu agama, tidak cukup
untuk sekedar meyakini bahwa Allahlah yang memberikan ilmu
sejati tanpa usaha melakukan penelitian, mengkaji literatur,
bahkan memverifikasi fakta-fakta empiris apapun. Buku ini, menghadirkan salah satu tokoh penting dalam
melihat adanya 3 aspek (integrasi, islamisasi, dan sains Islam)
yang terjadi saat peradaban Islam bertemu dengan nonIslam.
Narasi yang digunakan oleh Seyyed Hossein Nasr – seorang
filsuf tradisionalis – untuk menggambarkan tradisi intelektual
dalam Islam adalah Sains Suci (Scientia Sacra). Etos ilmiah yang
dihasilkan olehnya, sangat layak untuk dikaji secara mendalam.
Khususnya dari segi persoalanpersoalan yang berhasil
diselesaikan dengan pemikirannya tentang hubungan antara
Islam dan sains; berikut pula antara Islam dan Barat. Tokoh ini,
tentu dapat dikatakan sezaman dengan Syed Muhammad Naquib
alAttas; sebagai pencetus dan pemrakarsa istilah ‘Islamisasi
Ilmu’. Termasuk pula sezaman dengan tokoh aliran ‘integrasi
ilmu’ seperti Holmes Rolston III dan Ian Barbour, juga Maurice
Bucaille pencetus ‘ayatisasi’.
Tawaran penting dalam buku ini, sejatinya mencerminkan
perspektif baru dalam melihat Sains Islam sebagai agenda dan
fakta historis. Khususnya, karena buku yang berada di hadapan
pembaca ini menawarkan pembacaan produktif, (atau qira’ah
muntijah – dalam bahasa Nasr Hamid dan Abied al Jabiri)
berbasis filsafat ilmu Imre Lakatos terhadap kemungkinan
pengembangan sains Islam yang bukan sekedar ayatisasi atau
integrasi. Melainkan dapat memposisikan narasi ‘Islamisasi
Ilmu’ sebagai suatu ‘program riset’ yang bertanggungjawab
dalam melahirkan produk sains yang Islami di masa depan nanti.
Ini tentu menjadi salah satu bagian dari kontribusi
penulis, yakni assoc. Prof. Dr. Mohammad Muslih, M.Ag dan Nur
Akhda Sabila, MAg. dalam melihat secara kritis perkembangan tradisi intelektual Islam di masa kini dari segi produktivitasnya;
serta kemampuan responnya atas perkembangan sains modern.
Upaya ini didukung dengan kerja keras keduanya dalam melihat
kembali literatur karya Seyyed Hossein Nasr yang secara khusus
menawarkan paradigma Sains Suci (Scientia Sacra) di era
modern ini.
Publication Details
Item ID3213
Deposited24 Jan 2024 04:22