Thesis
Published
MU'TAZILA'S CONCEPT OF REASON
Abstract
Abstrak
Konsep Akal menurut Mu'tazila
Eko Nur Cahyo
Aliran Mu'tazila merupakan aliran theology Islam yang terbesar dan tertua, yang telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Aliran ini lahir lebih
kurang pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah (Irāk), pusat ilmu dan peradaban
Islam di kala itu. Disebut Mu'tazila karena Wasil bin 'Ata dan 'Amr bin Ubaid menjauhkan
diri ('itazala) dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pangajian
şendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak
mu'min lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat di antara dua
tempat (tingkatan) tersebut. Karena penjauhan ini, maka disebut "orang Mu'tazila" (orang
yang menjauhkan diri- memisahkan diri). Mu'tazila dikenal memiliki lima doktrin pokok, alushül al-khamsa, yakni tauhid, al-'adl (keadilan), al-manzilah bain al-manzilatain (satu
tempat diantara dua tempat), al-wa'ad wal-wa'id (janji dan ancaman), dan amar ma'ruf nahi
munkar. Kaum Mu'tazila dalam pandangan keagamaan mereka lebih mengandalkan akal dari
pada wahyu. Mereka berpendapat bahwa akal lebih fundamental dari pada wahyu dan dengan
demikian mesti didahulukan (dalam menangani konflik) daripada wahyu. Wahyu hanyalah
mengkonfirmasikan apa yang diterima akal dan, jika terdapat konflik antara keduanya, maka
yang lebih didahulukan adalah akal, sementara wahyu harus diinterpretasikan sedemian rupa
sehingga selaras dengan akal. Dengan hal ini, Mu'tazila mendapat nama "kaum rasionalis
Islam".
Dari latar belakang di atas penulis dalam penelitian ini berusaha mengkaji konsep akal
menurut Mu'tazila.
Untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan permasalahan di atas, penulis
menggunakan teknik dokumenter. Kemudian penulis berusaha menganalisa konsep akal
menurut Mu'tazila dari data tersebut dengan menggunakan metode analisis-kritis.
Dalam penelitian ini penulis dapat menyimpulkan beberapa poin penting, akal, dalam
pandangan mereka, adalah sarana yang sanggup menjangkau wilayah-wilayah aturan global
yang berkaitan dengan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan, baik menyangkut masalah tauhid
maupun keadilan Tuhan, sebagaimana akal juga sanggup menjangkau pemahaman mengenai
baik dan buruk secara umum. Sedangkan, syari'at memiliki jalur khusus yang bertugas
membentangkan jalan bagi nalar untuk dapat menunaikan kewajiban-kewajiban rasional itu
sendiri. Atau dengan kata lain, syari'at bertugas memperkenalkan akal; kapan dan bagaimana
melangsungkan kewajiban, seperti puasa, shalat, dan zakat karena persoalan yang bersifat
praktis seperti ini tidak mungkin di mengerti atau ditetapkan oleh akal sendiri. Meskipun
demikian, pada dasarnya pernyataan bahwa akal merupakan dasar yang mendahului syari'at
tidak berarti antara keduanya bertolak belakang. Sebaliknya, antara syari'at dan akal terdapat
titik temu yang signifikan. Mu'tazila sendiri oleh satu dan lain hal pada akhirnya mencoba
menempatkan akal sebagai satu-satunya pijakan untuk memahami syari'at, sedangkan syari'at
sendiri berfungsi sebagai penguat apa yang dihasilkan oleh nalar dan berjalan seiring
dengannya.
Demikianlah kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis dari penelitian ini. Penulis
mengakui bahwa pembahasan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis berharap
kepada peneliti selanjutnya untuk mengkaji masalah ini dengan lebih mendalam dan
membandingkannya dengan pemikiran para theologi atau filosof yang lain terutama dalam
masalah akal.
Publication Details
InstitutionUniversitas Darussalam Gontor
DepartmentAqidah Filsafat Islam
Item ID6855
Deposited09 Mar 2025 04:55