Thesis
Published
Kewalian Menurut Al-Qusyairi dan Abdul Karim Al-Jili
Abstract
Dalam pembahasan kewalian para ulama ahlussunnah sepakat akan keberadaanya,
namun berbeda dalam penyebutan istilahnya, misalnya Ibnu ‘Arabi menyebut beberapa
istilah lain selain “wali” dalam karanganya, seperti : al-‘arif, al-muhaqqiq, juga insan
kamil. Hal ini dikarenakan perbedaan arah kecenderungan perilaku keagamaan dan
kecenderungan pada pemikiran. Oleh karena itu, At-Taftazani membaginya kedalam dua
kecenderungan tasawuf, yaitu sunni dan falsafi. Yang pertama, kebanyakan mengarah
pada teori- teori perilaku atau akhlaq, sedangkan yang kedua, mengarah kepada teori- teori
yang rumit, bahkan sampai menggambarkan ikatan antara manusia dan Tuhan-nya. Oleh
karena itu, peneliti mengambil salah satu tokoh dari dua kecenderungan tasawuf diatas,
yaitu Qusyairi dan Abdul Karim Al-Jil. Tentunya menarik untuk melihat bagaimana
dengan kecenderungan yang berbeda, dapat menghasilkan pemikiran yang berbeda pula,
khususnya dalam masalah kewalian.
Penelitian ini akan mencari jawaban atas hakikat kewalian menurut Qusyairi dan
Abdul Karim Al-Jili untuk lebih memahami apa sebenarnya hakikat kewalian dalam sudut
pandang kedua tokoh tasawuf ini sebagai representasi dari kedua kecenderungan yang
berbeda.
Dalam penyajian pembahasanya, penulis menggunakan metode deskriptif analisis
dan komparatif. Deskriptif analisis dilakukan untuk mendeskripsikan hakikat kewalian
Qusyairi dan Abdul Karim Al-Jili, dan kemudian menganalisa kedua pemikiran tersebut.
Dan metode komparatif dilakukan guna menguji persamaan dan perbedaan antara hakikat
kewalian menurut Qusyairi dan Abdul Karim Al-Jili.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa wali Allah menurut Qusyairi ialah hamba
yang beriman lagi bertaqwa, sedangkan bagi Al-Jili wali Allah ialah insan kamil yaitu
Muhammad SAW, dan wali-wali dari kalangan sufi setelahnya merupakan pancaran
individu Insan Kamil, Menurut kedua tokoh tersebut derajat kewalian dapat diraih dari
hasil upaya hamba itu sendiri dan atas karunia Allah, namun terdapat sedikit perbedaan
bahwa derajat kewalian diraih atas karunia Tuhan menurut Al-Jili hanya diperuntukan
kepada Insan Kamil, dan secara praktek untuk mendapatkan derajat tersebut menurut
Qusyairi ialah dengan beribadah kepada Allah secara terus-menerus tanpa berbuat maksiat,
sedangkan Al-Jili berpendapat selain beribadah secara terus menerus, seorang hamba harus
mencapai tujuh kedudukan berikut: islam, iman, shalah, ihsan, syahadah, Shiddiqiyah,
dan qurbah. Sedangkan bukti seseorang itu wali Allah menurut kedua tokoh tersebut
ialah kuatnya hasrat dalam beribadah kepada Allah SWT, Istiqamah, dan tidak berharap
kepada makhluk, dan Qusyairi menambahkan turunnya berkah Allah disuatu desa itu juga
merupakan pertanda adanya seorang wali, sedangkan Al-Jili menambahkan bahwa wali
Allah dapat membedakan mana kalam Allah dan kalam syaitan. Qusyairi memandang
karamah bukan sebagai syarat mutlak seorang wali Allah, sedangkan Al-Jily memandang
itu merupakan syarat mutlak bagi wali Allah.
Dan dari pembahasan yang singkat dan sederhana ini, penulis berharap mudah
– mudahan kajian ini menambah khazanah ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi para
pembaca seluruhnya.
Publication Details